Yang Terlahir Sebagai Muslim

Sumber gambar: wwww.theodysseyonline.com
 
Aku terlahir di keluarga muslim yang cukup taat. Ayahku seringkali menjadi imam dan ceramah di masjid dekat rumahku, bahkan terkadang diundang mengisi ceramah di beberapa daerah. Ibuku aktif mengiiuti pengajian dan organisasi perempuan. Adikku bersekolah di sekolah berbasis agama, sejak TK hingga kini di sekolah menengah berlabel 'islam terpadu'. Sementara aku sendiri hanya sekali menempuh pendidikan berbasis sekolah agama, itupun tidak sampai tuntas, yaitu ketika berada di kelas satu dan separuh kelas 2, selepas itu aku bersekolah di sekolah umum.

Terkadang aku memandang betapa jumlah muslim di Indonesia yang sedemikian besarnya (menurut data, jika diprosentasekan adalah sekitar 80-85%). Aku berpikir bagaimana islam berkembang dengan sedemikian hebatnya di Indonesia yang dalam sejarahnya (yang diajarkan di sekolah-sekolah) sangat kental dengan hindu dan budha. Bayangkan bagaimana digdayanya kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Pulau Sumatra, renungkan seperti apa kekuatan armada tempur Majapahit yang mampu menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tenggara, dan berbagai jejak peradaban hindu-budha yang membekas dan 'didongengkan' dalam lembar sejarah di  sekolah dasar maupun menengah, bahkan perguruan tinggi sekalipun.

Lalu, bagaimana kemudian islam bisa sedemikian pesatnya berkembang dan kemudian 'membalik keadaan' dari yang semula 'asing' menjadi mayoritas. Jika era kerajaan hindu-budha di Indonesia berakhir sekitar abad 15 atau 16 masehi, sementara islam masuk ke Indonesia (menuru sejarah yang diajarkan di sekolah dasar maupun menengah) adalah sekitar abad 13, maka islam hingga kini berusia 8 abad di Indonesia dan hanya dalam waktu sekitar 8 abad tersebutlah islam 'berhasil' mengubah peradaban Indonesia.

Bukan masalah sejarah yang kemudian aku risaukan, melainkan dengan pertumbuhannya yang pesat hingga memiliki jumlah pemeluk terbesar di dunia, nyatanya keadaan islam Indonesia tidak se-fenomenal perkembangannya yang pesat.

Aku kemudian berpikir, bahwa banyak orang islam (di Indonesia) yang 'kurang' menunjukkan akhlak dan kepribadian islamnya. Bahkan 'sekelas' pejabat pemerintahan (yang muslim) pun belum mampu memberikan suri tauladan yang elok. Banyak dari mereka yang berperilaku menyimpang, bahkan malah merusak citra islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi alam semesta, rahmatan lil 'alamin.

Sedikit meluruskan sejarah islam di Indonesia, berdasarkan sumber yang saya baca dan kaji, bahwa sejatinya islam masuk di Indonesia sudah sejak era awal penyebaran islam, yakni sekitar abad 7 masehi. Dan terdapat banyak bukti peradaban itu (lihat Api Sejarah karya Mansur Suryanegara). Sementara jika yang dimaksud adalah penyebaran islam melalui sistem politik dan kekuasaan (kerajaan-kerajaan), dimulai sejak sekitar abad 12 atau 13 masehi. Islam pun masuk secara damai dan bersahabat, diterima dengan baik di Indonesia.

Yang kemudian menjadi sorotanku adalah kemana nilai-nilai islam itu sekarang. Banyak muslimin dan muslimah yang kemudian kurang mencerminkan akhlak dan kepribadian islam. Gempuran peradaban, budaya, pemikiran, dan teknologi barat seolah menjadi kewajiban untuk ditauladani oleh setiap individu negeri ini. Nilai-nilai dan kepribadian islam pun terkesampingkan.

Mayoritas muslim saat ini adalah mereka yang menjadi muslim karena memang terlahir dari keluarga (orang tua atau ayah-ibu) yang muslim, hanya sekian persen dari pemeluk islam di Indonesia yang mereka memang tersadar, mendapat hidayah, dan berikrar, bersyahadat menjadikan islam sebagai jalan hidupnya.

Sejatinya Allah telah menegaskan bahwa setiap manusia diciptakan suci dan islam, namun orang tuanya yang kemudian akan 'menuntun' mereka apakah akan menjadi yahudi, nasrani, atau majusi. Maka, faktor keturunan yang menjadikan kita sebagai seorang muslim patut untuk disyukuri dengan sangat dan dihayati dalam wujud iman yang teguh, diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diimplementasikan melalui sikap dan perbuatan.

Dalam beberapa kasus, aku mendapati beberapa orang mualaf (orang yang baru memeluk islam) yang justru lebih gigih dan lantang bersuara untuk memerjuangkan islam dan menegakkan nilai-nilai islam di bumi 'zamrud khatulistiwa' ini. Lantas aku pun berpikir, apakah aku yang sejatinya sudah sejak awal menjadi seorang muslim, sejak kecil dibimbing dengan nilai islam, tidak mampu tampil ke depan, menjadi pipnir kemajuan islam, atau setidaknya berjalan beriringan dengan mereka para mualaf yang dengan gigih berupaya mewujudkan Indonesia yang islami.

Maka, sudah sepatutnya bagi kita semua untuk sadar dan terus berupaya memperdalam keilmuan islam, menghayati islam dengan sebenar-benarnya, dan memerjuangkan islam di segala kondisi. Istilah pengilmuan islam atau islam sebagai ilmu yang dicetuskan Alm. Kuntowijoyo dan melahirkan gagasan teori sosial profetik (lihat dalam buku Islam sebagai Ilmu karya Kuntowijoyo) menjadi hal yang penting, bahwa manusia (muslim) yang dalam surah Ali Imran ayat 110 disebutkan sebagai umat yang terbaik harus tercermin dalam segala aspek kehidupannya, baik secara sosial maupun transendental.

Istilah ilmu amaliyah dan amal ilmiah pun menjadi satu kesatuan bagi setiap muslim untuk wajib mendalami ilmu agamanya (islam) dan mengaplikasikannya dalam berbagai aspek hidup. Beramal (konteks ibadah) harus dilandasi dengan ilmu atau wawasan pengetahuan terkait amal atau peribadatan tersebut, sebaliknya dengan ilmu dan wawasan pengetahuan yang dimilikinya, harus senantiasa untuk diamalkan atau diimplementasikan.

Semoga syiar islam semakin berkembang di seluruh penjuru dunia. Kita yang terlahir sebagai seorang muslim dari keliarga yang muslim harus lebih giat untuk mendalami islam dan berjuang untuknya.

Comments