Oligarki Pers dan Media

Sumber gambar: studiobopk.blogspot.co.id

PERS atau media, baik media massa maupun elektronik menjadi salah satu penerapan sistem demokratis. Pada UUD 1945 telah pula dijelaskan secara gamblang dalam pasal 28 dimana kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran baik dengan lisan maupun tulisan, dan lain sebagainya telah ditetapkan dalam UUD. Dalam pasal 28F dijelaskan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Fenomena di lapangan, contohnya ketika menjelang Pemilu, pers atau media memiliki peran yang sangat vital dalam proses perpolitikan. Di Indonesia, struktur oligarki (politik pertahanan kekuasaan oleh beberapa kalangan) tampak sangat kokoh berdiri. Adanya perubahan sistem politik melalui pemilihan langsung malah membuat para penguasa melakukan berbagai upaya jitu untuk tetap memangku kebijakan, melalui berbagai konsolidasi yang dilakukannya.

Banyak cara yang bisa digalakkan untuk bisa mempertahankan apa yang menjadi kepentingannya. Salah satunya adalah melirik dunia pers atau media massa yang menjadi sasarannya. Lewat media massa opini publik akan terbangun. Dan lewat opini publik inilah sebuah kebijakan dapat dikendalikan dan di arahkan oleh para pemain oligarki. Penguasaan pers akan memperlancar kaum oligarki untuk dapat mempengaruhi publik.

Di Indonesia, sekitar 43 ribu atau 0,02 persen, kekayaan mereka adalah 25 persen dari GDP, begitulah menurut data yang disebutkan oleh Jeffrey Winters. Orang yang paling kaya di Indonesia jauh lebih kaya dibandingkan dengan negara-negara tetangga semisal Malaysia, Thailand, bahkan Singapura. Yang paling terlihat saat ini adalah oligarki dalam sektor politik dimana sejumlah media massa dan elektronik saat ini disinyalir berafiliasi kuat dengan pemodal yang juga kini sedang berkuasa. Kepemilikan media berpusat pada segelintir pengusaha kaya di Indonesia. Sinyal adanya praktek politik oligarki dalam penguasaan media massa bertambah kuat dan terlihat ketika beberapa pemilik media ternyata juga berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu.

Dalam masa kampanye pemilihan presiden lalu misalnya, keberpihakan media, baik media massa maupun elektronik tampak secara nyata. Keberpihakan itu muncul melalui iklan capres, pemberitaan-pemberitaan capres, isu-isu menyerang terhadap capres lawan, dan lain sebagainya. Ketika tampak nyata bahwa keberpihakan pers atau media, maka sudah sepatutnya jikalau independensi pers mulai dan wajib untuk dipertanyakan. Objektivitas dunia pers menjadi gugatan karena dinilai tidak sesuai dengan perannya sebagai sarana untuk memberikan informasi yang objektif agar tidak terjadi ketimpangan informasi antara rakyat dan pemerintahan.jadi semakin jelas bahwa kondisi pers kini sudah kehilangan idealismenya.

Secara fakta, menghentikan oligarki yang sudah terlanjur ada di negeri ini sangatlah sulit. Sesuatu yang mungkin sangat mungkin dilakukan adalah dengan meredam pengaruh oligarki tersebut agar tidak semakin meluas implikasinya. Masyarakat sipil adalah salah satu agent of change untuk melawan oligarki. Masyarakat sipil yang memiliki kesadaran penuh akan hak dan kewajiban serta memiliki visi bersama. Simpul dari masyarakat sipil ini salah satunya adalah mahasiswa sebagai objek yang bisa digunakan.

Dengan latar belakang pendidikan yang cukup dan dengan pembekalan akses informasi yang lebih luas mahasiswa dapat berperan dalam pencegahan proses oligarki di negeri ini. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat juga dengan berjejaring dengan berbagai instansi, LSM, dan KPI untuk mengawal agar tercipta pers atau media yang benar demokratis. Oligarki di negeri ini  dapat diredam jika semua mampu menangkap peluang untuk membentuk masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya, sadar untuk memperoleh informasi yang benar dan layak bagi hak-hak asasi manusia.

Comments