Sumber gambar: www.putramelayu.web.id |
BELAKANGAN semakin marak berita-berita yang simpang siur kebenarannya, bahkan bisa dibilang merupakan berita-berita yang bohong dan menyesatkan (hoax). Semakin berkembangnya teknologi (termasuk media) di satu sisi sangat membantu manusia dalam berbagai hal, termasuk dalam mengakses informasi atau berita terkini. Kian populernya media sosial sebagai lini baru dunia media memberikan percepatan akses informasi yang demikian hebat. Setiap saat informasi terus diperbarui, interaksi antar personal pun kian terbuka dan kian bebas yang di satu sisi lainnya juga menuntut manusia untuk jeli dalam memilah dan memilih, melakukan filtrasi terhadap berbagai macam informasi yang diterimanya.
Istilah
hoax yang diartikan sebagai informasi-informasi yang bohong dan
menyesatkan, yang kontradiktif dengan fakta yang ada dan berupaya untuk
menggiring opini publik semakin marak di tengah merebaknya gempuran
berbagai platform media sosial. Gempuran berita-berita hoax tersebut
menerjang bak tsunami besar yang menggulung apa-apa saja di hadapannya.
Ia tak peduli si kaya, si miskin, si dewasa, si kecil, si penguasa, di
pekerja, dan sebagainya, semua diterjangnya, dijangkitinya, ditipunya,
diprovokasi olehnya. Hoax menjadi wabah yang “menggerogoti” kebenaran
atau fakta sebuah peristiwa.
Mungkin masih segar dalam
ingatan kita bagaimana perang urat syaraf di jagat media sosial pada
kontestasi politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta
beberapa waktu lalu. Berbagai berita dan informasi yang bias dan sangat
sukar untuk dibedakan mana yang fakta dan mana yang hoax. Muncul dua
kubu besar yang saling kontradiktif dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta
kala itu, saling serang di jagat maya.
Salah satu hoax
yang beredar dalam rangka melakukan counter isu dan mencoba untuk
menggiring opini publik adalah dengan beredarnya foto dalam status
twitter milik politikus kenamaan PDI-P Eva Kusuma Sundari yang
menggambarkan “jutaan” orang tengah berdesak-desakan di Bundaran Hotel
Indonesia. Disebutkanlah bahwa foto itu adalah aksi Kebhinekaan pada 4
Desember 2016. Dituliskannya tweet berbunyi "Jakarta milik bersama,
aneka warna, bhineka tunggal ika” diikuti dengan tagar #jktke2ja yang
berupaya mempropagandakan warga DKI Jakarta untuk memilih pasangan calon
(paslon) nomor urut dua. Sontak foto itu menuai banyak kritik, karena
memang faktanya, foto itu bukanlah Parade Kebhinekaan pada 4 Desember
2016 melainkan foto yang diambil pada kampanye PDI-P dan calon presiden
(capres) Joko Widodo dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2014
silam. Singkat kisah, Eva segera menghapus “cuitan”-nya, namun hoax
sudah terlanjur menyebar ke lini media sosial di berbagai akun-akun
orang lain dan menjadi sebuah kebenaran bagi sebagian kalangan yang
“kurang paham” dengan fakta sesungguhnya.
Sementara
itu, ketika fenomena hoax atau fake news tengah “naik daun”, suatu
fenomena lain yang cukup menarik untuk diperhatikan turut muncul ke
permukaan memanfaatkan kegaduhan hoax tersebut. Fenomena tersebut adalah
fenomena dimana orang-orang bersaing untuk melakukan klaim kebenaran.
Mereka terpecah menjadi kelompok-kelompok dimana tiap kelompok
meng-konstruksi kebenaran menurut versinya, sesuai kepentingannya, dan
semakin menenggelamkan fakta-fakta, mereka menonjolkan opini dan tafsir
tertentu terhadap fakta.
Sejatinya, fenomena seperti
ini bukanlah menjadi sebuah fenomena yang aneh di zaman post-truth
dimana sebuah fakta belum tentu akan berpengaruh dalam membangun opini
publik. Post-truth sendiri sebenarnya merupakan sebuah istilah lama
(Steve Tesich dalam The Nation pada 1992 yang menyoroti konflik Iran dan
Perang Teluk), namun dipopulerkan kembali sekitar 2004 oleh Ralph Keyes
dalam bukunya The Post-Truth Era. Sementara Stephen Colber
mempopulerkan istilah truthiness yang sedikit-banyak berkaitan dengan
post-truth yang diartika sebagai sesuatu yang seolah benar, meskipun
sejatinya tidak benar sama sekali.
Kamus Oxford
mendefinisikan istilah post-truth sebagai kondisi dimana fakta tidak
terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan
keyakinan personal.
Kamus Oxford sendiri, pada 2016
“mendaulat” kata post-truth menjadi Word of the Year berdasarkan
seringnya penggunaan istilah itu di tahun 2016. Menurut data Kamus
Oxford, penggunaan istilah post-truth meningkat signifikan (jika
diprosentasekan meningkat hingga sekitar 2000%) dibandingkan tahun 2015.
Hal tersebut dirasa cukup relevan mengingat bahwa di 2016 terjadi
referendum “Brexit” (akronim dari Britain Exit, dimana Britania Raya
keluar dari Uni Eropa) dan kontestasi politik Amerika Serikat (yang
menghasilkan Donald Trump sebagai presiden). Dalam dua peristiwa
tersebut, manusia digerakkan berdasarkan sentimen emosional. Mesin-mesin
hoax memiliki pengaruh besar dibandingkan dengan fakta sebenarnya.
Wisnu
Prasetya Utomo, seorang peneliti, melalui remotivi (sebuah lembaga
riset dan kajian media-komunikasi) menyatakan bahwa dampak buruk dari
menyebarnya berita palsu (hoax) adalah terpengaruhnya orang untuk
melakukan tindakan kekerasan.
Ia mencontohkan dalam
kejadian di Amerika Serikat dimana tersebar hoax di internet bahwa
Hillary Clinton melakukan pelecehan seksual kepada anak-anak di sebuah
restoran pizza. Beberapa orang pun percaya, dan mereka nekat membawa
senjata ke sebuah restoran pizza dan mengancam para karyawannya.
Menurut
Wisnu, potensi kekerasan yang demikian sangat mungkin terjadi di
Indonesia mengingat lebih dari 50% penduduk Indonesia telah mengakses
internet, yang berarti memungkinkan mereka untuk terpengaruh adanya hoax
yang bertebaran. Melalui tulisannya yang berjudul “Ketika Berita Palsu
Menjadi Industri” Wisnu menggaris-bawahi bagaimana sebuah berita hoax
sengaja dibuat untuk kalangan tertentu yang bermaksud untuk membentuk
opini publik dan semakin memuluskan “hasrat” dan kepentingannya.
Data
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), berdasarkan
survey tahun 2016 menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia
adalah sebesar 132,7 juta orang dari total 256,2 juta penduduk yang
artinya jika diprosentasekan sudah lebih dari 50% penduduk Indonesia
adalah “peselancar” jagat maya. Dari pengguna yang sedemikian, 97,4%
diantaranya digunakan untuk media sosial yang jika di-breakdown lagi
akan ditemukan sebesar 54% (sekitar 71,6 juta) mengakses melalui
facebook, 15% (sekitar 19,9 juta) melalui instagram, 11% (sekitar 14,5
juta) melalui youtube. Pengaksesan google+ sebesar 6% (sekitar 7,9
juta), twitter 5,5% (sekitar 7,2 juta), dan linkedin 0,6% (796 ribu).
Sementara
itu, pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo)
menyatakan bahwa setidaknya per-Desember 2016 telah mendeteksi lebih
dari 900 ribu situs dan konten negatif dan memblokir sekitar 773 ribu
diantaranya. Dari upaya tersebut dirasa menuai hasil yang tidak
menggembirakan dimana cyber-crime dan potensi-potensi kejahatan lain
yang disebabkan oleh akses internet serta media sosial semakin
meningkat.
Peliknya permasalahan tersebut, masih
ditambah lagi dengan budaya literasi “instan” yang dengan mudah
memercayai segala macam informasi yang ada, dari segala sumber yang
terkadang kurang bisa dipertanggung-jawabkan kebenaran dan
validitas-nya. Pun dengan mudah seseorang untuk terpengaruh karena
perasaan emosional dan atas dasar sesuatu yang sudah ia yakini sejak
awal. Penggunaan media sosial yang sejatinya sangat positif, namun
karena tanpa didukung dengan literasi yang baik, membuat orang akan
dengan mudah terinfeksi “virus” hoax yang akut.
Hoax
inilah yang kemudian sengaja dikonstruksikan oleh pihak-pihak tertentu
untuk menghegemoni dan memuluskan kepentingannya, melanggengkan
kuasanya.
Maka, solusi terbaik bukan hanya dengan
“menyembuhkan seseorang yang sakit” seperti dengan memblokir situs-situs
yang teridentifikasi berkonten negatif, tetapi juga “mencegah orang
untuk diserang virus dan penyakit” melalui edukasi dan pemahaman terkait
dunia media dan informasi yang berbahaya bak pisau (yang bermata dua).
Pun dengan terus menggalakkan budaya literasi dengan baik, mencoba
melakukan klarifikasi terhadap informasi-informasi yang diterima, dan
selalu mengkomparasikan berita-berita itu dengan media-media mainstream
serta sumber-sumber dan pakar-pakar yang kredibel. Mendorong sisi kritis
dan analitis masyarakat menjadi fardhu ‘ain hukumnya demi menangkal
wabah hoax yang melanda.
Dalam melawan hoax, mungkin
analogi menyembuhkan orang sakit dapat terus dilanjutkan, namun edukasi
masyarakat tetap harus semakin digalakkan. Pun dengan upaya-upaya untuk
melakukan counter informasi dan klarifikasi setiap kabar pemberitaan.
Pemerintah
pun harus dengan giat mengedukasi rakyatnya untuk melek informasi,
serta terkait hak kebebasan dalam berpendapat, berserikat, dan berkumpul
yang dijamin konstitusi. Tidak selayaknya kemudian pemerintah, dengan
dalih mencegah penyebaran hoax dan hate speech malah menekan rakyat
dengan berbagai regulasi-regulasi yang terkesan memaksakan dan
menindas. Fenomena hoax dan hate speech tidak selayaknya malah
dimanfaatkan dengan menjadikannya sebagai pion untuk melanggengkan
kekuasaan dan mengakumulasikan kekayaan. Dengan segala macam aturan dan
kelembagaannya, pemerintah bukan tidak mungkin dengan mudahnya
'memborgol' siapapun yang sejatinya hanya ingin mengeluarkan
pendapatnya.
Belum lagi dengan anggapan, bahwa ke
depan, bukan tidak mungkin justru pemerintah yang menyebarkan hoax.
Dasarnya adalah pemerintah memiliki seluruh sumber informasi dan tentu
saja bukan tidak mungkin menyulap fakta menjadi kabar hoax untuk publik.
Rocky
Gerung (Dosen Filsafat UI) bahkan menyentil pemerintah dengan
mengatakan bahwa akan ada distorsi informasi dari pemerintah. Ia juga
mengatakan bahwa hoax terbaik (paling berpengaruh) adalah hoax versi
penguasa disebabkan instrumen mereka yang lengkap serba ada, mulai dari
data statistik, data intelijen, editor, panggung, ruang media, dan
sebagainya. Hoax itu bohong yang di-framing-kan seolah masuk akal. Tapi
hanya efektif mempengaruhi massa bila menguasai media, dan hanya
penguasa yang mampu. Sentilan cukup keras dan pedas yang diutarakan oleh
seorang akademisi.
Comments
Post a Comment