Reshuffle Kabinet, Kinerja Jokowi, dan Kehebohan Warna Kuning

Foto: Kartu kuning (ilustrasi)

BELAKANGAN jagat nasional dihebohkan dengan kartu kuning yang dilayangkan Ketua BEM UI Zaadit Taqwa kepada Presiden Jokowi (saat berada di UI). Memang warna kuning itu sangat identik dengan almamater UI.

Sebelumnya, Jokowi memang dianggap sebagian pengamat dan masyarakat kian dekat dan mesra dengan warna kuning yang mengisyaratkan salah satu partai politik (parpol). Ya, Jokowi dinilai semakin bermesraan dengan Golkar, yang ditunjukkan dengan pergantian beberapa jajaran kabinetnya. Selain dinilai semakin mendekati parpol kuning berlambang pohon beringin itu, Jokowi juga dinilai secara perlahan mempraktekkan kebijakan-kebijakan layaknya orde baru. Sepertinya Jokowi kian hari memang semakin identik dengan warna kuning, apalagi jelang pemilu presiden 2019 mendatang.

Pertama-tama, mari kita coba tengok pergantian menteri yang dilakukan Jokowi. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa memilih mundur dari kursi kementerian dan menjadi calon gubernur Jawa Timur di Pilkada 2018. Jokowi pun melakukan pergantian dan memilih Idrus Marham sebagai Menteri Sosial yang baru. Dan ternyata Idrus adalah seorang pengurus DPP Partai Golkar.

Sebelumnya, mundurnya Khofifah dari kursi mensos dinilai banyak pihak akan menjadi satu momentum untuk memberhentikan Airlangga Hartanto dari kursi menteri perindustrian karena dia adalah Ketua Umum Partai Golkar. Pandangan demikian dirasa wajar, mengingat Jokowi pernah berjanji tidak akan mengangkat ketua umum parpol sebagai menteri dalam kabinet kerjanya.

Namun, realitas yang terjadi adalah bahwa Jokowi bergeming dan semakin menguatkan sinyal kekuningan kinerjanya. Mungkin Jokowi tengah ingin menjalin hubungan intim dengan ‘kaum kuning’ itu.

Warna kuning agaknya belakangan bisa jadi cukup identik dengan pemerintahan Jokowi. Selain karena fenomena pergantian menteri yang sarat kepentingan itu, Jokowi identik dengan warna kuning sebagai simbolisasi dari pemerintahan era orde baru Soeharto. Maksudnya adalah bahwa pemerintahan Jokowi seolah menjadi representasi dari ‘keji’-nya era orde baru dulu.

Dua dekade yang lalu, Soeharto mundur dan orde baru tumbang, berganti dengan apa yang kita sebut dengan era reformasi. Namun, kini bibit-bibit, benih-benih orde baru seolah kembali disemai oleh Jokowi. Demokrasi di Indonesia pada faktanya mengalami penurunan. Kualitas demokrasi yang cenderung menurun itu dapat dilihat dari berbagai data.

Misal, kita coba saja simak pemaparan Badan Pusat Statisitik (BPS) pada indeks demokrasi di Indonesia yang mengalami tren penurunan sejak 2016.

Meningkatnya ancaman dan tidak kekerasan yang semakin membatasi kebebasan berpendapat (meski diatur dalam UUD 1945). Tindakan dan ucapan pejabat yang mendiskriminasi unsur gender, etnisitas, atau unsur identitas lainnya pun mengalami peningkatan.

Sementara lembaga internasional, seperti the economist misalnya, ia mencatat Indonesia sebagai negara dengan laju demokrasi yang terburuk sepanjang 2017. Secara peringkat, Indonesia turun drastis dari peringkat 48 ke peringkat 68 yang dengan gamblang semakin melegitimasi buruknya kinerja pemerintahan Jokowi yang mulai menyemai bibit orde baru ‘jilid 2’.

Di lain survei, Freedom House menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi dengan sengaja mengorbankan semangat reformasi yang demokratis untuk mengejar agenda pembangunan ekonomi.

Selanjutnya, tidak hanya berhenti disitu, benih yang disemai pemerintahan Jokowi seolah semakin menguatkan akan dilahirkannya orde baru ‘jilid 2’. Sebut saja hubungan Jokowi dengan aparat dan militer yang kian mesra.

Militer diberi akses ‘jalan tol’ untuk memasuki pemerintahan. Sebut saja sosok Moeldoko, jenderal TNI yang diangkat sebagai kepala staf presiden mengganti Teten Masduki. Pergantian yang cukup aneh bila coba kita pikir-pikir, mengingat Teten adalah sosok yang identik dengan hak asasi manusia dan masyarakat sipil, sedangkan sebaliknya, Moeldoko adalah tokoh militer ternama.

Bukti lain adalah dengan telah beredar luasnya salinan digital nota kesepahaman (MoU) Polri dan TNI tentang pelibatan tentara dalam meredam aksi massa yang sejatinyamerupakan hak politik masyarakat.

Hal tersebut cukup menggelisahkan, mengingat wewenang ‘akses’ militer dalam urusan-urusan masyarakat sipil mampu membuat Soeharto berkuasa selama 32 tahun sebelum akhirnya tumbang oleh gelombang besar dalam fenomena 1998.

Keputusan menteri dalam negeri yang mengangkat pelaksana tugas gubernur dari tokoh ‘elit’ kepolisian di daerah yang hendak melangsungkan pilkada seolah semakin menguatkan aroma orde baru ‘jilid 2’. Ditambah lagi bahwa salah satu calon yang maju adalah dari kalangan polisi pula.

Dibalik itu semua, ‘menguning’-nya Jokowi semakin viral dengan teguran kartu kuning Jokowi yang dilayangkan Zaadit Taqwa. Kartu kuning sebagai peringatan keras bahwa kinerja Jokowi sudah cukup jauh tertinggal dari kata memuaskan. Peringatan keras bahwa pemerintahan Jokowi harus berhati-hati dalam ‘menyopir’ Indonesia untuk menjadi lebih baik.

Lantas bila terus begini, apakah akan muncul kartu merah?? Apalagi dengan semakin mendekatnya momentum pilpres di 2019 nanti. Masih layakkah Jokowi menjadi ‘pilot’ negara kepulauan dengan berjuta potensinya ini??

Comments