Menakar Perkembangan Literasi di Negeri Kepulauan

Gambar: anak-anak dan buku yang menggambarkan pentingnya membaca (ilustrasi)

BIDANG literasi kerap diartikan dengan mudah sebagai kemampuan seseorang (melek) dalam membaca dan menulis. Namun, bukan berarti dunia literasi hanya berarti melek baca-tulis semata. Literasi secara luas, di era yang serba digital dan perkembangan teknologi audio-visual saat ini maka sejatinya literasi juga berkaitan erat dengan pemahaman terkait ide-ide yang disampaikan secara audio-visual.

Dalam kamus Merriam-Webster, dijelaskan bahwa literasi berasal dari istilah latin, yaitu literature, atau letter (dalam Bahasa Inggris), diartikan sebagai kualitas atau kemampuan melek huruf (aksara) yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis.

Dalam National Institute for Literacy, ia secara kontekstual didefinisikan sebagai kemampuan individu untu membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat. Dari situ dapat pula diartikan bahwa definisi literasi itu sendiri diartikan menyesuaikan dengan lingkungan atau kondisi tertentu.

Sementara Education Development Center (EDC) menerangkan jika literasi bukanlah sekedar kemampuan baca-tulis. Lebih dari itu, literasi merupakan kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimilikinya (dengan pemahaman bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca lingkungan sekitarnya, membaca keadaan).

United Nations of Education, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) sebagai lembaga internasional di bawah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang membidangi pendidikan dan kebudayaan memberikan pengertian bahwa pemahaman individu tentang makna literasi sangat dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-nilai budaya, dan juga pengalaman. Pemahaman yang paling umum dari literasi adalah seperangkat keterampilan nyata, terkhusus keterampilan kognitif membaca dan menulis (terlepas dari konteks di mana keterampilan itu diperoleh dan dari siapa memperolehnya).

UNESCO menjelaskan bahwa kemampuan literasi merupakan hak setiap orang dan merupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Kemampuan literasi dapat memberdayakan dan meningkatkan kualitas individu, keluarga, dan masyarakat. Dikarenakan bersifat multiple effect, kemampuan literasi membantu memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, mendukung pertumbuhan penduduk, dan menjamin pembangunan berkelanjutan, serta terwujudnya perdamaian.

Walau bagaimanapun kondisi tuna aksara merupakan suatu hambatan serius untuk mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik.

Literasi di era kini, sebagaimana disebutkan penulis sebelumnya, ia diartikan secara meluas dan mencakup berbagai aspek, seperti literasi informasi dan teknologi, literasi budaya, literasi komunikasi dan digital, serta literasi sains yang kesemuanya merujuk pada kompetensi atau kemampuan yang lebih dari sekedar bisa baca-tulis.

Seseorang yang melek huruf (bisa baca-tulis) mampu memahami segala bentuk komunikasi. Implikasi dari kemampuan literasi yang dia miliki ialah pada pikirannya. Literasi melibatkan berbagai dasar-dasar kompleks tentang bahasa seperti fonologi (melibatkan kemampuan untuk mendengar dan menginterpretasikan suara), arti kata, tata bahasa, dan kelancaran menguasai setidaknya satu bahasa komunikasi. Keterampilan ini menentukan tingkat yang dicapai oleh seseorang.

Literasi memang seolah sukar, bahkan tidak bisa dilepaskan dari per-bahasa-an. Seseorang dikatakan memiliki kemampuan literasi apabila ia telah memperoleh kemampuan dasar berbahasa, yaitu membaca dan menulis. Maka, sejatinya makna literasi sebagai keterampilan atau kemampuan baca-tulis merupakan pintu utama bagi pengembangan makna literasi yang lebih luas dan cara yang digunakan untuk memperoleh literasi adalah melalui aspek pendidikan (baik secara formal maupun informal).

Pendidikan dan kemampuan literasi adalah dua hal yang sangat vital dan saling berkaitan dalam kehidupan. Kemajuan suatu negara secara langsung tergantung pada tingkat melek aksara di negara tersebut.

Di Indonesia, melek literasi hanya menempati peringkat kedua (dari bawah). Berdasaran data UNESCO, Indonesia menempati peringkat terendah kedua, yaitu ke-60 dari total 61 negara. Ia hanya lebih baik dari Botswana (peringkat terakhir atau 61) dan tidak lebih baik dari Thailand yang menghuni peringkat ke-59. Negara dengan angka melek literasi tertinggi dihuni oleh Finlandia (peringkat pertama) dengan prosentase hampir 100%.

Yang mungkin membuat malu Indonesia adalah bahwa angka melek literasinya jauh tertinggal dari negara-negara tetangga sekaligus pesaing, yang kerapkali “usil” dan mengalami ketegangan dengan Indonesia, yakni Malaysia dan Singapura..

Mungkin agaknya dirasa cukup “wajar” jika data tersebut dikomparasikan dengan populasi penduduk. Coba sandingkan antara Finlandia (peringkat pertama melek literasi berdasar data UNESCO) “hanya” memiliki sekitar 5 sampai 6 jutaan penduduk dengan Indonesia yang menempati peringkat ke-4 sebagai negara dengan jumlah penduduk tersebesar (kurang-lebih sekitar 260 juta penduduk).

Sementara itu, jika melihat dari tingkat pendidikan, berdasarkan indeks pembangunan manusia (IPM) yang dilansir oleh United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan bahwa Indonesia hanya meraih 14,6%, jauh dari Malaysia yang memiliki prosentase 28% dan Singapura dengan 33%.

Jika coba untuk ditelusuri dan dipahami, kita akan menemukan setidaknya beberapa faktor yang menjadi dalang minimnya angka melek literasi dan minat baca di Indonesia, seperti aktivitas baca-tulis yang tidak menjadi kebiasaan, lalu akses dan fasilitas (pendidikan) yang kurang mumpuni, hingga “loyo”-nya produksi per-buku-an di Indonesia.

Kebiasaan membaca perlu ditanamkan pada anak-anak sejak usia dini. Orang tua sebagai role model anak dalam keluarga yang menjadi madrasah pertama sang anak harus membiasakan budaya membaca dan menulis. Bagai pepatah “buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya”, sifat, sikap, dan kebiasaan anak sangat mungkin merupakan duplikasi dari orang tuanya, mereka mengikuti, meneladani, meniru apa-apa saja yang diperbuat oleh kedua suri tauladannya (ayah-ibu). Maka, peran penting orang tua untuk mengajaran dan menanamkan, menginternalisasikan budaya literasi menjadi sangat urgent dalam rangka mengembangkan keterampilan dan kecakapan anak.

Mengubah paradigma yang berkembang untuk menyadarkan masyarakat bahwa membaca merupakan suatu kewajiban dan kebutuhan menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.

Pendidikan sebagai “kawah candradimuka” anak untuk membekalinya dengan berbagai wawasan, ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keahlian (keterampilan) ironisnya juga masih banyak yang belum memiliki fasilitas baik infrastruktur maupun suprastruktur yang memadai guna mendukung proses belajar siswanya, termasuk dalam hal literasi.

Ketimpangan fasilitas terjadi di berbagai daerah dan itu memang sudah sekian lama menjadi tugas berat bukan hanya pemerintah, namun juga seluruh elemen masyarakat untuk turut setidaknya melakukan edukasi secara informal di tengah berbagai ketertinggalan dan keterbatasan yang dialaminya.

Sudah menjadi fakta bersama bahwa banyaknya anak putus sekolah, sara pendidikan yang tidak mendukung, hingga berliku-likunya rule dan mekanisme rantai birokrasi di dunia pendidikan menjadi problematika yang cukup pelik. Secara tidak langsung, sektor pendidikan inilah menjadi salah satu penghambat perkembangan minat dan kualitas literasi di Indonesia.

Lantas, bila untuk membaca saja sudah enggan, bagaimana akan berkarya dan menulis buku untuk diterbitkan (diproduksi). Ibaratnya adalah bahwa dengan rajin membaca akan membuka wawasan dan pengetahuan manusia menjadi lebih luas dan memiliki berbagai pertimbangan serta cara pandang yang berbeda. Membaca akan membuat manusia kaya ilmu pengetahuan, dari yang tidak tahu menjadi tahu dengan membaca, dari yang belum paham menjadi paham, dari yang semula “ngoceh” kesana-kemari tak menentu arah-pembahasan dan sumbernya, menjadi lebih ilmiah dan mendasar.

Hal ini pulalah yang menjadi semacam paradox, dimana kurangnya produksi buku kemudian menjadi imbas bagi perkembangan minat baca, sebaliknya minimnya minat baca sebagai imbas dari minimnya sumber atau rujukan ilmiah. Minimnya produksi buku di Indonesia bisa jadi juga disebabkan sebagai dampak belum bisa berkembangnya penerbit dan percetakan di daerah-daerah, insentif yang dirasa masih kurang ideal, seimbang, atau adil, dan wajib pajak bagi penulis ber-royalti rendah menjadi beberapa faktor yang bertanggungjawab terhadap lunturnya motivasi para penulis dan masyarakat umum untuk melakukan riset dan kajian mendalam untuk menghasilkan karya dan buku-buku rujukan yang berkualitas.

Dengan segala problema tersebut, menjadi pekerjaan rumah bukan hanya oleh pemerintah Indonesia, tapi juga seluruh elemen masyarakat. Perlunya untuk melakukan gerakan penyadaran terhadap pentingnya dunia literasi. Fungsi dunia pendidikan bisa dioptimalkan untuk memajukan literasi. Pemenuhan fasilitas sarana prasarana pendidikan untuk menunjang literasi yang juga menopang karakter dan wawasan keilmuan siswa menjadi hal yang wajib. Perlu juga bagi pemerintah untuk “menggenjot” produksi per-buku-an dengan memberikan stimulus bagi para penulis dan penerbit-percetakan.

Sementara bagi masyarakat dengan kesadaran literasi yang cukup, perlu untuk “menularkan” kesadarannya bagi kalangan-kalangan yang masih “tersesat” agar sadar dan dapat menumbuh-kembangkan dunia literasi.

Berbagai gerakan bisa dimulai melalui kelompok-kelompok, komunitas, organisasi, LSM, dan sebagainya yang bergerak di bidang literasi. Bukan bermaksud mengkotak-kotakkan masyarakat dalam kelompok-kelompok tertentu, tetapi secara esensial kelompok-kelompok tersebut sebagai alat dan sarana untuk menyadarkan masyarakat, sarana untuk melakukan tranformasi secara garis besar. (*)

Comments